-->

Agama Seseorang Bisa Dinilai Dari Siapa Temannya?

agama-seseorang-bisa-dinilai-dari-siapa-teman-temannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu akan mengikuti agama temannya, karenanya hendaklah salah seorang diantara kalian mencermati kepada siapa ia berteman.
[Hadits hasan, riwayat Tirmidzi (no. 2387), Ahmad (no. 8212), dan Abu Dawud (no. 4833), Berkata Abu Isa: Hadits ini hasan gharib]

Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu.
Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita. Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pililhlah orang-orang yang baik sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya.

Kehidupan sosial atau bersosialisasi adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?.

Namun seorang muslim/muslimah haruslah yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalih/shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalih/shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat.

Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalih/shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan orang-orang shalih/shalihah akan menjadikannya sebagai teman yang selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. Maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah laku. Seperti ungkapan:

Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya”.

Bertolak dari sinilah maka seorang muslim/muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalih/shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek. Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalih/shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap”.(Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)

Dari petunjuk agamanya, kaum muslimin akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam.
  1. Teman yang shalih/shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian.
  2. Teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.
Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,
Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati-hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati “.

Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari. Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.

Maka perhatikanlah dengan detail teman-temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam:
  • Ada teman yang bisa memberikan manfaat
  • Ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)
  • Dan ada yang bisa memberikan keutamaan.
Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari.(Hilyah Tholabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)

Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati kaum muslimin yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam:

النَّاسُ مَعَادِنُ كَمَعَادِنِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقُهُوا وَالْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ

Sesungguhnya manusia itu seperti tambang perak dan emas. Mereka yang terhormat pada masa masa jahiliah akan terhormat pula di masa lslam, jika mereka memahami (lslam). Roh-roh itu seperti prajurit yang berkelompok-kelompok, jika saling mengenal mereka akan menjadi akrab, dan jika saling bermusuhan maka mereka akan saling berselisih.”(Riwayat Muslim)

Muslim/muslimah yang jujur hanya akan sejalan(sepemikiran) dengan muslim/muslimah yang shalih/shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.


Maka Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Rahimahullah memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman:

Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu.

Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita. Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalarn hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya.

Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut;
  • Dia cerdas (BERILMU), Karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kebaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu.
  • Berakhlak baik. Karena terkadang orang yang cerdaspun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak.
  • Tidak fasiq (bukan ahli maksiat). Karena, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya.
  • Bukan ahli bid’ah, karena jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu.”
  • Dan tidak rakus dunia.
(Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99)

Maka seorang muslim/muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan teman-teman shalih atau shalihah; meskipun secara lahiriyah, status sosial dan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya.

Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka”.

Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur’an yang menyerukan hal itu, Allåh berfirman:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ

Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap Wajah-Nya.

وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا

Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”(Al-Kahfi:28)


Imam Ibnul Qayyim mengkategorikan dan mengumpamakan nilai kawan dalam bergaul:
  1. Bagaikan Makanan Pokok: Mereka adalah orang-orang yang mengenal dan mengerti tentang Allah ta’ala, perintah dan larangan-Nya, tahu tentang tipu daya musuh Allah, tahu penyakit dan bagaimana mengobatinya, dan mereka mau menasehati kawannya ikhlas karena Allah dan nasehatnya bersandar kepada Al-qur’an dan as-sunnah yang sesuai pemahaman salaf.
  2. Bagaikan Obat: Yaitu pertemanan yang kita hanya kita butuhkan jikalau memang ada kepentingan, yang setelah selesai urusan tersebut, maka kita saat itulah kita meninggalkannya sampai ada urusan lain lagi. seperti halnya obat yang tidak boleh kita terus-menurus mengkonsumsinya, karena bisa jadi kita keracunan yang menyebabkan kerugian bagi diri kita.
  3. Bagaikan Penyakit: Penyakit ada dua jenis, yang menular dan tidak menular. bergaul dengan orang yang berpenyakit bisa kita niatkan untuk menyembuhkan penyakit mereka, dan tentunya harusnya kita telah mengetahui resep dan punya kemampuan untuk mengobati, jikalau sebaliknya, bukannya malah menyembuhkan, malah menambah penyakitnya. dan begitupun bagi pengidap penyakit menular, mereka punya hak untuk disembuhkan penyakitnya, akan tetapi penyakit yang mereka punyai itu disamping bisa kita sembuhkan, bisa juga menularkan penyakit itu kepada kita, jadi solusinya yaitu dengan menjaga jarak dengannya.
  4. Bagaikan Racun: ini adalah jenis pertemanan yang harus kita hindari dan jauhi, racun tidaklah ada manfaat sama sekali yang hanya membawa keburukan kepada kita. kemungkinan paling kecil saja yaitu kita terkena penyakit, dan paling besar yaitu kematian, maka, selayaknya racun, jika telah terlanjur kita menelannya, maka wajiblah kita untuk memuntahkannya, menjauhinya dan tidak mencoba-coba mendekatinya kembali. (Al Bid’ah, Dr. Ali bin M. Nashir)
---0---

Maraji

- Hilyah tolabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid
- Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah
- Bid’ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah, Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih
- Sahsiyah Mar’ah, Dr M.Ali Al Hasyimi

By: Novi Effendi
[Dikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419 H, Publish http://abuzuhriy.com ]